[Review] Gadis Pakarena: Mengenal Adat-Budaya Makassar Dengan Cara Menyenangkan

9ba9f9f1612c3f04348b275eed4b09771

Judul : Gadis Pakarena

Penulis : Khrisna Pabichara

Penerbit : Dolphin

Tahun Terbit : Juli 2012 (Cetakan 1)

Rate : 4.5/5


“Sungguh, aku lebih memilih cinta daripada tradisi yang abai meletakkan manusia pada tempat yang sesungguhnya” – Gadis Pakarena. hlm 26

Sinopsis:

“Kamu ingat, dulu kita benar-benar percaya bahwa Kitab Penyatuan itu ada. Sebuah kitab agung yang memuat daftar jodoh setiap manusia dan Tuhan akan menggerakkan pena-Nya untuk mencentang nama setiap pasangan. Kamu dulu sering merasa kurang khusyuk berdoa, sampai-sampai kamu memejamkan mata rapat-rapat dan memintaku segera menggeser gerakan pena Tuhan agar berhenti tepat di tempat namamu dan namaku diguratkan.”

Spoiler Alert!

Gadis Pakarena adalah kumpulan cerpen yang ditulis dengan amat baik oleh Khrisna Pabichara. Buku ini berisi 14 cerita pendek yang mengetengahkan nuansa lokal dan juga dengan tambahan unsur magis untuk dinikmati pembaca, nuansa yang sangat kental dengan budaya nenek moyang kita. Dengan mengusung adat budaya Makassar, Gadis Pakarena menyajikan roman-roman tentang cinta, kesetiaan, kerinduan, bahkan kebencian.

Buku ini juga menggambarkan bagaimana bentuk pertentangan antara cinta dan benci dalam ruang hati setiap manusia, seakan pertentangan ini tiada habisnya hingga akhir masa. Setidaknya ada 6 cerita yang paling aku suka, tidak lain adalah:

Gadis Pakarena, cerita yang juga didaulat menjadi judul buku ini menghadirkan kisah cinta yang terasa manis namun juga getir lantaran kisah yang membalut dua tokohnya -Aku dan Kim Mei- saling bersinggungan dengan perbedaan adat keduanya, dan menjadi jurang pemisah antara mereka. Hal ini tidak jarang memang terjadi pada masyarakat kita, dimana adat dan status sering menimbulkan perbedaan dan kebencian sehingga harus mengandaskan cinta dan kasih. Dalam kisah ini penulis juga ada sedikit menyinggung mengenai kerusuhan 98 dimana pada kerusuhan tersebut merupakan salah satu memori terkelam bangsa ini, khususnya juga bagi etnis Tionghoa yang tidak sedikit dari mereka menjadi objek pesakitan atas imbas insiden tersebut.

“Suku-agama-ras-adat pun diseret-seret sebagai alat pembenaran. Cinta dikalahkan” – Gadis Pakarena. hlm 30

Arajang, mengisahkan tentang seorang Calabai; adalah sebutan bagi seorang lelaki yang menyerupai perempuan dalam adat Makassar. Dalam kisah ini pembaca diajak untuk menyelami bagaimana konflik yang dialami oleh seorang Calabai, menariknya selain dikemas dalam nuansa yang muram, kisah Calabai juga menawarkan unsur-unsur magis kepada pembaca yang dapat membuat kita merasa kagum atau malah aneh dengan keunikan yang dimiliki si Calabai ini. Dari kisah ini kita juga diajak untuk menelusuri bagaimana Calabai, sosok yang sangat erat kaitannya dengan sejarah budaya orang Makassar, yang mulai terpinggirkan baik karena pengaruh zaman maupun karena embel-embel haram dari sebagian kalangan.

Lalu ada Silariang, mengisahkan percintaan dua insan yang lagi-lagi harus berhadapan dengan adat istiadat serta dendam dua keluarga. Silariang sendiri adalah kawin lari dalam bahasa Makassar. Di kisah ini penulis menggambarkan wanita Turatea yang diperlakukan sewenang-wenang; mereka ditakar lewat setumpuk rupiah berdasarkan kecantikan, derajat, juga ilmu. Silariang juga mengisahkan tentang adat yang masih dijunjung tinggi hingga tidak ada ampun bagi yang telah berbuat cela.

“Adakah yang lebih membahagiakan daripada mencintai dan dicintai?” – Gadis Pakarena. hlm 64

Terakhir ada cerita Selasar, Lebang dan Hatinya, serta Pembunuh Parakang.  Sebenarnya ketiga cerita ini dibahas pada bab yang berbeda, namun sebenarnya mereka memiliki benang merah yang sama. Secara garis besar, tiga cerita ini tetap mengusung tema perihal cinta-adat-dendam, yang menarik adalah tiga cerita tersebut ditulis dengan POV yang berbeda. Pada cerita Selasar, pembaca diajak untuk terlibat dalam konflik batin dari seorang pemuda gagah bernama Tutu, pemuda yang tengah patah hati lantaran kekasihnya Lebang dibawa lari oleh pemuda lain. Hingga pada akhirnya Lebang kembali, namun sekembali kekasihnya tersebut, alih-alih senang Tutu justru kian terpuruk dalam jurang nestapa.

Lalu pada kisah Lebang dan Hatinya, pembaca beralih kepada sudut pandang kekasih Tutu, yaitu Natisha Daeng Lebang, seorang wanita rupawan yang seharusnya menjadi istri dan pendamping Tutu hingga akhir hayat. Namun nasib berkata lain. Pada kisah ini pembaca mulai mengetahui apa yang membuat Lebang lari dari Tutu dan pergi bersama pemuda lain yang bernama Rangka, pemuda yang menjadikannya istri ketiga. Selain dituturkan dengan narasi yang kuat, kisah Lebang dan Hatinya ini juga dibumbui dengan twist yang tidak terduga.

“Tidak semua tradisi layak dipertahankan, apalagi yang berbuah penderitaan” – Gadis Pakarena. hlm 117

Sementara pada kisah Pembunuh Parakang, POV kembali beralih kepada sosok Rangka, sosok yang menjadi penyebab kemelut dari kisah cinta Tutu dan Lebang. Pada kisah ini semuanya terkuak, mengenai kenapa Rangka sangat-amat membenci Tutu. Bahkan hingga menjadikan “membunuh Tutu” adalah hasrat terbesarnya. Ternyata semuanya berakar pada peristiwa tidak menyenangkan yang dialami Rangka sewaktu ia masih kecil, sebuah peristiwa yang menyeret Tutu dan Rahasia terbesar keluarga Rangka. Ternyata semuanya saling terkait dan berkelindan satu dengan yang lainnya.

Secara keseluruhan buku ini sangat-amat bagus, aku tidak segan untuk memberikan 4.5/5 bintang. Meskipun tebalnya tidak sampai 200 halaman, tapi isi/bobot buku ini jauh lebih besar dari angka 200. Dengan tampilan sederhana, namun isi yang sangat tidak sederhana. Penulis secara brilian mampu menghadirkan ke hadapan pembaca sebuah bacaan menarik, meskipun ini adalah buku fiksi pertamanya. Menurutku Kekuatan buku ini selain menyajikan nuansa lokal dan tema keseharian yang acap kali bersentuhan dengan kita, adalah pada narasi manis nan indah yang dihadirkan penulis dengan sangat baik. Dan segala embel-embel testimoni positif dari penulis hingga tokoh terkenal seperti M. Aan Masyur, Damar Shashangka, sampai Dahlan Iskan terbukti tidak salah. Dengan cara yang menyenangkan, buku ini telah membawa ku berplesir serta berkenalan dengan adat budaya Makassar yang sebelumnya sama sekali tidak pernah ku kenal.

“Cinta tak mengenal kata tetapi” – Khrisna Pabichara

Leave a comment