Oppenheimer, Sebuah Biopik Yang Kompleks

Satu lagi karya dari Nolan yang telah menyapa para penikmat film pada Quartal ketiga 2023 ini, yup, Oppenheimer. Sebuah drama biopik yang di tangan dingin Nolan hadir dengan sentuhan yang tidak biasa, sangat berbeda dari kebanyakan biopik lain keluaran Hollywood. Oppenheimer mengisahkan tentang momen-momen penting yang dilalui oleh seorang “Bapak Bom Atom”, J. Robert Oppenheimer, dalam hidupnya yang ternyata sangat kompleks seperti kepribadiannya sendiri.

Dan kompleksitas tersebut bertemu dengan seorang Nolan yang terkenal dengan film-filmnya yang tidak biasa, hasilnya? Yaa, Oppenheimer menjadi film berdurasi 3 jam dengan alur yang kompleks dan tidak bisa hanya ditelan mentah-mentah. Apakah hal ini bagus? Bisa iya dan bisa juga tidak, karena bagi yang sudah familiar, film garapan Nolan bukanlah film yang menjadi jaminan akan bisa dinikmati semua orang, dan aku akui film ini pun demikian. Tetapi untungnya aku cukup bisa menikmatinya, walaupun sepertinya akan sulit menuturkan di sini. Karena menurutku Oppenheimer tidak bisa dicerna jika hanya 1 kali tonton saja, mungkin perlu 2 kali tonton dan sambil berdiskusi juga untuk bisa memahami keseluruhan ceritanya. Kompleks bukan?

So, tulisan ini bukanlah sebuah ulasan tentang filmnya, tetapi beberapa hal yang menjadi pros/cons yang aku rasakan setelah menontonnya selama 3 jam.

Pros:

VISUAl

Dari sisi visual, penonton pasti akan merasa “wow” melihat bagaimana Nolan bisa menggambarkan inti atom yang terus berputar dan bertabrakan bahkan menimbulkan chain reaction, lalu efek ledakan dari bom atom pertama pada sesi percobaan di Los Alamos, lalu kesan horor dari dampak yang ditimbulkan dari ledakan bom tersebut.

SCORING

Visual yang memikat tidak akan ada apa-apanya jika tidak didukung dengan scoring yang oke, nah, untungnya pada kasus Oppeheimer, hal tersebut ditangani oleh Ludwig Gorasson yang juga turut terlibat dalam film Nolan sebelumnya, Tenet. Lewat dia lah, film biopik ini jadi terasa lebih hidup dan memiliki nuansa thriller. Di beberapa scene, lewat kombinasi visual dan scoring yang apik ini, momen ketakutan dan anxiety dari seorang Oppenheimer atas andilnya dalam penciptaan bom atom dapat disampaikan dengan baik.

AKTING

Dengan sederet pemain yang bukan kaleng-kaleng, wajar jika Oppenheimer dibanjiri dengan akting kelas wahid. Akting pemain yang menurutku berkesan tentu saja si Cillian Murphy, dari awal sampai akhir dia bisa menampilkan ekspresi dan emosi yang ada di dalam batin Oppenheimer, pantas untuk masuk nominasi Oscar nanti. Lalu ada Emily Blunt dan Florence Pugh, meski porsi Pugh cukup sedikit tapi dia ternyata berani tampil “bar-bar” di sini, sedangkan Emily Blunt sukses menampilkan figur wanita berpendidikan yang kuat lewat dialog dan ekpresinya, terutama di scene ketika ia sedang dimintai kesaksian. Selain itu ada Robert Downey Jr. yang ternyata juga tampil outstanding, doi ternyata bisa juga lepas dari karakter Tony Stark yang flamboyan dan menjadi sosok politis yang ambius, baperan, dan licik, bahkan aku sempat tidak sadar kalau ternyata yang berperan sebagai Lewis Strauss adalah dia. “Masa sih si Robert bisa akting bagus begini“, pikirku mulanya. Dan yang terakhir, ada Gary Oldman yang berperan sebagai Presiden Truman, meski porsi dia sangat sedikit, tapi akting dan dialognya berhasil menampilkan sosok Presiden US yang dingin dan terkesan bengis, yang rela melakukan segala cara dalam berperang, meski harus melumuri tangannya dengan banyak darah orang lain.

CERITA

Jika menyangkut tentang cerita, walaupun agak tricky, tapi menurutku Nolan berhasil menampilkan sosok Oppenheimer sebagai pribadi yang kompleks dan manusiawi, ceritanya tidak hanya menyoroti peran dia dalam terciptanya bom atom tapi juga sisi anxiety dan beban moral yang harus ia tanggung karena sudah menciptakan bom atom yang notabenenya adalah alat pemusnah masal. Dan ini jadi ironi, dimana sains yang harusnya membawa kemajuan malah justru bisa membawa kebinasaan. Lalu dengan keberhasilan Nolan menampilkan sisi tersebut, film ini akhirnya bukan lagi soal film yang mengglorifikasi keberhasilan US membalas Jepang atau keberhasilan atas terciptanya bom atom, tapi lebih kepada sosok Oppenherimer itu sendiri dan beban moral yang harus ia tanggung selama sisa hidupnya. Bahkan lewat film ini penonton sepertinya juga dapat berkaca, bahwa siapapun yang memiliki power besar, harus bisa menggunakannya dengan bijak.

Cons:

PLOT TIDAK LINIER

Genre drama biopik harusnya dapat dinikmati dan dicerna dengan santai, tapi nampaknya tidak jika di tangan Nolan. Film ini memiliki alur yang tidak linier, dan kalau tidak salah ada 3 atau 4 timeline dalam film ini. Sudah alur waktunya yang bertumpuk, cerita yang kompleks, dan ditambah durasi 3 jam, maka wajar jika penonton harus benar-benar cermat agar tidak banyak momen yang terlewat, sehingga tidak kebingungan dan bisa menangkap cerita yang ingin disampaikan Nolan.

DIALOG DAN TOKOH

Beberapa dialog yang cepat, berat, dan bahkan menggunakan istilah yang tidak awam, ditambah dengan banyak sekali tokok-tokoh atau karakter yang terlibat dalam sejarah pada perang dunia II ini yang tidak pernah ku dengar sama sekali, membuatku jadi merasa kurang mendapatkan pemahaman secara utuh tentang si Oppenheimer ini dan tentang kejadia penyidangan atau alasan di balik perseteruan Strauss dengan dia

Terlepas akan hal-hal tersebut, aku rasa film ini termasuk film yang bagus untuk sebuah genre biopik, karena treament dari Nolan yang tidak biasa. Sepertinya doi ingin membuat film-film yang bisa melampaui ekspektasi orang kebanyakan, at least ekspektasi bagi dia sendiri. Dan kalau kita jeli, sepanjang film, Nolan seolah ingin menyampaikan bahwa film ini atau bahkan semua yang kita lakukan dalam kehidupan ini terbentuk dari reaksi Fisi dan Fusi, layaknya sebuah reaksi pada inti atom. Sains banget lah pokoknya.

Leave a comment